pada 14hb Januari 2014 pukul 4.09 ptg
Marzuki Ali, satu nama yang tidak asing lagi dalam kesusasteraan Malaysia. Lahir di Terengganu pada tahun 1945 dan pernah bermastautin di Sabah. Kemudian beliau melanglangbuana ke seluruh Indonesia bagi mengisi kebutuhan kendirinya sebagai seorang seniman. Beliau adalah dramawan, penyair, tokoh seni dan budaya yang berada dalam jalurnya sendiri.
Kumpulan puisi ' Keroncong Pulau Kelapa ' ( ITBM, 2013, 188 halaman ) adalah puisi langlangbuananya ke Indonesia. Seratus buah puisi digarap di dalamnya, mencipratkan wajah Indonesia melalui kota, budaya dan manusianya. Seratus puisi yang dipecah dalam 4 sigmen iaitu Gurindam Mamanda ( hal. 1-40 ) Baris Jaipongan ( hal. 41-78 ) Ya, Ambon Manise! ( hal. 75-114 ) Krondjong Toegoe ( 117-177 ) Dari sigmen tersebut, nyatalah Marzuki telah merekam keseluruhan pengalamannya di Indonesia. Marzuki dalam pengantarnya membuka dengan ' Khayalan Penyair ' puisi dan lagu yang dinyanyikan oleh S. Effendi,
mengapa kau berhayal
khayal menggoda hati
kerna aku haus pada keindahan
bagai musafir haus di tengah padang pasir
berhajat akan minum seteguk air
begitulah dahaga jiwa penyair
Jauh berjalan bagi Marzuki banyak yang dapat diresami apa pahit, manis, masam, tawar, masin dan kelat dalam masa kembaraannya. Melihat bagaimana penjarah memeras dan memperbudak sekian rakyat ratusan tahun lamanya. Semua tercatat dalam Krontjong Toegoe,
tugu namamu keroncong lama
di hembusan angin laut jawa melana
nadi jiwa para pelaut labuhan sunda kelapa
pakaian gurindam jiwa kita di lambungan
setia gelombang di ruang redupan cahaya
...
yang mengingatkan kita lautan jauh
semerah cakerawala
Lautnya yang dapat dilihat dengan kanta telanjang dapat mengalungkan pelbagai mutiara ke leher yang mulus para ayuan di atas pentas ragam rias dunia.
jalan-jalan di sepanjang a.y. patty berbelanja
beta lihat kain ikat, kulit kerang dan mutiara
bawa beta ingat mata nona yang mesra
beta pun tidak sabar untuk malam minggu dansa
( Ya, Ambon Manise! hal. 99 )
Marzuki bukan mengenal Nusantara dari perjalanannya tetapi jauh dari itu telah disenandungkan dengan lagu-lagu asli dan langgam Melayu dari corong radio yang dinyanyikan oleh S. Effendi, Sam Saimun, Tuti Daulay atau Hasnah Taha. Lalu melalui ' Kota Bengkulu ' Marzuki menulis,
bahwa suatu bangsa besar dan megah
seharusnya menanam kebahagiaan moyang
walau alah dan menjadi hamba tebusan
di hatinya adalah keharuman sejati
yang tercium di nubari bangsa
yang punya harga diri
Marzuki melanglangbuana bukan saja dengan Boeng Garuda, tapi juga dengan kapal laut KM Dobonsolo atau bis Damri apabila berjalan dari kota ke kota. Untuk lebih enak tentu saja menaiki taksi Blue Bird atau taksi 4848. Tapi harus membayarnya lebih mahal. Atau kalau ke kampung enak kalau pakai bemo, bajaj atau terkadang membonceng dengan speda motor atau ojek saja.
Lumrah kalau di Kota Metropolitan Jakarta, kita akan iseng-iseng menaiki becak saja dan dapat berkenalan akrab dengan abang becak yang selalu sedia melayani kerenah kita. Misalnya, bersesak-sesak di Menteng Raya, di Kramat Raya, di Grogol atau di Blok M akan kita temui berbagai wajah insan yang pelbagai latar belakangnya. Lalu di sinilah ditemui tentang globalisasi yang melanda dunia. Kalau dulu di tepi-tepi tratoar pejalan kaki lima jeraya, akan kita dapati segala jajan pisang goreng, singkong goreng, tempe goreng, taugu goreng atau bakso, kini mulai doyan dengan coca-cola float, pepsi cola float dan segala macamnya menghilangkan es kelapa, es avokad atau es teler! Inilah yang ditemui oleh Marzuki dalam gelandangannya selama beberapa tahun ke belakangan ini. Hingga akhirnya kedengaran mendayu-dayu Tuti Daulay dengan Orkes Sjaiful Bahri mendendangkan ' Semalam di Malaya '
..
kekasih hatiku telah pula hilang
hilang tiada pesan aduhai nasib
apakan daya
cinta hampa hati melara
mana dia
inilah kisahku semalam di malaya
diri saya sunyi aduhai nasib
adakah daya
aku hanya seorang pengembara
yang hina
Begitulah Marzuki menutup nostalgianya. Sebagai kembara, Marzuki menetapi apa yang dituliskan di blurd muka belakang bukunya. Ditulisya, detik-detik yang dilalui oleh Marzuki dalam setiap kembaranya tidak dibiarkannya berlalu sia-sia. Segala-galanya dicatat lewat satu genre yang beliau gemari - puisi. Sepanjang 20 tahun beliau melanglang buana ke merata kepulauan Indonesia, dari Banda Aceh ( Kota Radja ) di bagian Barat sampai ke Jaya Pura ( Irian Jaya ) di bagian Timur, segala-galanya dicakup dalam 100 buah puisinya.
Jakarta memang kota kurang ajar dan selalu kaya dengan rencananya. Dalam Jalan Sabang Suatu Malam, Marzuki menuliskan,
...
jakarta kembali di kelangkang berahinya
sambil mengusapkan warna pagi
yang selalu disentuhnya kala dini hari
jakarta setia kembali menjadi permaisurinya
yang bakal dijaipongkan kala lewat malam
di lantai mengkilat di bayangan neon alahai!
Penyair akan selalu meneropong Jakarta yang selalu olah dengan caranya. Kalau Moammar Emka dengan Jakarta Under Cover, Marzuki dengan puisinya. Bagi pembaca Malaysia, ternyata Marzuki berjaya membuka rahasia di sebalik ruang suram Jakarta dan seluruh Indonesia dalam jejalan puisi. Namun sebagai warga dan pembaca Indonesia, saya serahkan kepada anda untuk menilainya.
Siapa Marzuki Ali?
Marzuki dilahirkan di Kampung Kuala Kemaman, Terengganu pada tanggal 20 Oktober 1945. Pendidikannya di Sekolah Sultan Ismail sehingga habis menengah atas. Beliau menjadi guru sandaran dan bertugas di Sekolah Kebangsaan Batu Rakit, Kuala Terengganu sebelum menjawat sebagai kerani di Pejabat Kastam dan Eksais Diraja, Dungun hingga tahun 1973. Kemudian berpindah ke Jabatan Setiausaha Persekutuan Sabah, Kota Kinabalu.
Di Sabah, beliau aktif membangun aktivitas kesenian dan budaya dan mendirikan Group Teater Asyik. Mulai tahun 1978, Marzuki melanjutkan pelajarannya ke Institut Kesenian Jakarta selama 4 tahun dengan memperoleh kelulusan dalam bidang teater. Sekembalinya dari Jakarta, Marzuki pulang ke Kuala Terengganu dan membangun Group Teater Asyik Terengganu Kehadirannya di tanah tumpah darahnya, Marzuki dijuluki Umbu Landu Peranggi kerana miris lakon teater dan bicaranya. Sehingga kini, sejumlah kumpulan puisinya telah terbit antaranya Desir Angin Pantai Timur ( 1984 ) Mantera ( 1991 ) Jeritan Satwa Luka ( 2000 ) Sebagai seorang tokoh teater, Marzuki Ali adalah the lagend...
0 comments:
Post a Comment